Tuhan Bersama Orang yang Gemar Membaca
Pada suatu waktu, Marcel Proust pernah berkata begini: “(Membaca adalah) kenikmatan yang menggairahkan dan sekaligus menggelisahkan karena terangsang, beribu sensasi puitik dan beribu sensasi akan kehidupan yang utuh namun belum berbentuk, yang mengalir keluar dari kedalaman diri yang sejati, mengalir masuk ke dalam angan-angan pembaca dengan rasa nikmat yang manis dan indah seperti madu.”
Untuk bisa melakukan aktivitas membaca, setidaknya kita harus memiliki sebuah buku. Walaupun, kini, aktivitas membaca dapat dilakukan hanya dengan menelusuri Google dengan mengetik keyword sesuai kebutuhan. Seseorang tidak perlu lagi membeli buku fisik yang nantinya akan memenuhi seisi rumah. Apalagi saya seorang mahasiswa yang sedang merantau dan tinggal di sebuah indekos. Saya tidak memiliki rak buku. Maka, saya menumpuk buku-buku itu dekat dengan tembok. Buku-buku yang menumpuk itu telah membuat ruang gerak saya terbatas. Jika saya bergerak secara berlebihan, mungkin tumpukan buku itu akan roboh dan melukai saya.
Ada satu esai memukau menyoal buku. Esai itu berjudul Sejarah Indonesia sebagai Permusyawaratan Buku karya Zen RS. Di dalam esai tersebut, Zen hendak membuktikan bahwa bangsa Indonesa terbentuk karena buku. Tokoh-tokoh seperti Hatta, Bung Karno, Sutan Sjahrir, Tan Malaka, dan lain sebagainya, adalah manusia yang menjadikan buku sebagai partner bercinta.
Frase “musyawarah buku” yang digunakan oleh Zen sebagai judul esainya diambil dari sebuah judul buku karya Khalid Abou el-Fadl: Conference of The Book: The Search for Beauty in Islam”. Zen sungguh mencintai buku tersebut, sampai-sampai ia menyembunyikannya di suatu tempat tersembunyi agar buku tersebut tidak menarik perhatian orang lain. Zen tidak ingin buku karangan Khalid Abou el-Fadl ini dibawa lari oleh orang lain.
“Indonesia, saya kira, dibangun oleh banyak sekali orang, yang beberapa di antara mereka adalah para pecinta buku, para pemamah buku dan para penulis buku,” begitu kata Zen dalam esainya.
Bayangkan jika Bung Karno memilih untuk bersenang-senang dan menikmati hidupnya sebagai anak bangsawan. Ia mungkin tidak akan peduli dengan negerinya. Mungkin ia tidak akan menyentuh benda yang bernama buku itu. Bayangkan jika Tan Malaka merasa jijik dan akhirnya mengeluarkan isi perutnya ketika melihat buku. Bayangkan jika Hatta memilih untuk bunuh diri daripada menekuni berpeti-peti buku. Saya bisa jamin, Indonesia tidak akan pernah mencicipi kemerdekaan. Indonesia mungkin akan tetap menjadi bangsa yang terjajah. Rakyat Indonesia tetap terjerat dalam perangkap bernama “kerja paksa”. Dan saya, mungkin di tahun 2022, dipaksa penjajah untuk menanam pohon jarak. Tanpa upah. Selalu menderita karena para mandor melecutkan cemeti ke punggung saya. Mengerikan sekali.
Saya memuja buku. Buku menolong saya untuk perlahan keluar dari parit kesia-siaan. Di dalam parit tersebut, terdapat barang-barang beracun seperti handphone, earphone, minuman keras, dan lain-lain. Saya mengutuk barang tidak berguna yang telah disebutkan sebelumnya oleh saya. Barang-barang itu menjadi penghambat bagi saya yang ingin menjadi manusia yang bermanfaat bagi manusia lain. Agama saya mengajarkan hal itu. Untuk itu, saya berpikiran bahwa dengan buku, mungkin saya bisa menjadi manusia yang bermanfaat. Saya bisa menjadi seorang yang tidak menyusahkan orang lain. Saya bisa membantu orang lain tanpa pamrih. Karena, raga saya begitu lemah. Saya enggan berolahraga. Saya tidak bisa menawarkan kepada orang lain untuk mengangkat berkarung-karung beras. Maka, di situlah saya berpikir dan merencanakan untuk tenggelam dalam samudera buku. Apakah saya saat ini sudah tenggelam dalam samudera buku?. Belum. Namun, saya berusaha.
Sungguh merugi seseorang yang tidak akrab dengan buku. Hidupnya akan membosankan. Otaknya akan tumpul. Dia akan senantiasa melakukan maksiat. Berbuat onar. Membunuh, memerkosa dan menjarah. Manusia melakukan itu karena bodoh. Kebodohan yang mengerikan.
Saya pun tidak bisa membayangkan jika Tuhan tidak menciptakan kitab suci. Bayangkan jika Tuhan menciptakan manusia tetapi tidak menciptakan kitab suci. Kejahatan akan merajalela. Manusia berperang sepanjang hari. Lingkungan akan terlihat sangat mengerikan sebab kerusakan menjadi hal yang sangat lumrah.
Tetapi, Tuhan tidak begitu. Ia menciptakan manusia sekaligus menciptakan kitab suci. Harapannya, kitab suci tersebut bisa dibaca oleh manusia untuk memberantas kebodohan yang bercokol pada otaknya. Jika manusia merasa bodoh, Tuhan telah menyediakan kitab suci agar dibaca. Tentu saja, kebodohan sirna, manusia akan berubah menjadi makhluk yang mencintai kedamaian. Tuhan memerintahkan manusia tobat dengan membaca.
Saya menyadari, walaupun Tuhan telah menciptakan kitab suci, manusia tetap saja melakukan tindak kejahatan. Alam senantiasa dirusak oleh manusia-manusia amoral. Jerit tangis kaum marjinal masih terdengar nyaring hingga saat ini. Pertanyannya adalah: apakah kitab suci sudah tidak memiliki pengaruh terhadap hidup manusia? Atau jangan-jangan, manusialah yang justru menganggap kitab suci itu hanyalah sebuah kitab penuh kata-kata bualan? Sehingga tidak layak untuk dibaca dan pantas untuk ditinggalkan. Benarkah begitu? Entahlah. Saya hanya bisa bertanya dan sedang malas untuk menjawabnya. He he he
Ada satu tulisan menarik karya Sindhunata yang berjudul Bukuku Kakiku. Tulisan tersebut saya baca pada buku Belajar Jurnalistik dari Humanisme Harian Kompas: Harga Sebuah Visi. Buku tersebut merupakan kumpulan tulisan Romo Sindhu tentang pengalamannya bekerja sebagai wartawan di Kompas. Selain menceritakan tentang pengalaman bekerjanya, ia juga menuliskan tulisan-tulisan filosofis tentang humanisme. Ia sangat mengagumi Jakob Oetama – salah satu pendiri Kompas – karena visi humanismenya. Maka, ia menjelaskan apa itu humanisme dan mengapa Kompas ingin menjadi media yang berpegang teguh pada humanisme dan melakukan kerja-kerja jurnalistik berdasarkan asas kemanusiaan.
Jakob Oetama tidak mungkin tahu perihal humanisme jika tidak membaca. Kompas tidak mungkin menjadi media yang pro terhadap isu kemanusiaan jika para pendahulunya enggan membaca. Tulisan-tulisan Kompas akan terasa kering jika para wartawannya anti kepada buku. Bukuku Kakiku ditulis oleh Romo Sindhu dengan indah. Ia memaparkan bahwa dengan membaca, hidup manusia akan dipenuhi oleh kebahagiaan. Romo Sindhu juga memaparkan manfaat-manfaat dari kegiatan membaca, yaitu: menyejarah dengan membaca, bertobat dengan membaca, mengubah diri dengan membaca, melawan dengan membaca, mencintai dengan membaca, berfantasi dengan membaca, dan berdoa dengan membaca.
Poin penting dari tulisan Romo Sindhu adalah, betapa membaca memberikan manfaat yang begitu besar kepada manusia. Kita tidak akan bisa berdoa jika membaca. Kita mustahil untuk bertobat jika tidak membaca. Kalau kamu ingin selamat, minta pertolongan lah kepada buku. Kalau kamu ingin celaka, ludahi saja bukumu itu.
Balik lagi ke esai Zen, di dalam esainya tentang buku, Zen hendak memberikan sebuah fakta sejarah bahwa para founding fathers negara kita adalah pribadi yang gemar membaca. Mungkin kita sudah tidak asing mendengar cerita tentang pembuangan Hatta ke Digul pada tahun 1934 yang kemudian berlanjut di Ende pada tahyn 1936. Untuk menghabiskan masa pembuangannya, ia membaca. Ia meminta bantuan kepada teman-temannya yang ada di Batavia untuk mengirimkan buku-buku. Akhirnya, datanglah tiga peti besar berisi buku ketika Hatta berada di Digul. Kemudian, datang kembali satu peti besar yang juga berisi buku ketika Hatta berada di Ende.
Buku-buku tersebut ia baca dengan tekun. Hatta tidak hanya sekadar membaca, ia juga menulis sebuah buku yang cemerlang dalam membahas topik tentang filsafat Yunani. Buku itu berjudul Alam Pikiran Yunani. Dari situ kita bisa mengambil kesimpulan bahwa kegiatan menulis tidak akan pernah terlepas dengan kegiatan membaca. Hasil dari pembacaan yang sangat panjang dan tekun yang dilakukan oleh Hatta akhirnya melahirkan Alam Pikiran Yunani.
“Selama aku bersama buku kalian boleh memenjarakanku di mana saja; sebab dengan buku pikiranku tetap bebas”. Itulah perkataan Hatta yang sering dikutip oleh pegiat literasi saat ingin memengaruhi banyak orang untuk membaca buku. Atau perkataan Hatta itu bisa kita temukan ketika menghadiri “pasar buku” yang diadakan oleh Patjar Merah. Biasanya perkataan Hatta itu tergantung pada langit-langit. Di samping perkataan Hatta terdapat wajah Hatta yang begitu besar. Kacamata bulatnya terlihat sangat jelas.
Apa yang dilakukan Hatta, dilakukan juga oleh orang-orang seperti: Sjahrir, Musso, dan Agus Salim, Natsir, dan para tokoh intelektual pejuang kemerdekaan lainnya. Mereka bertekad merebut kemerdekaan dengan banyak membaca dan menulis. Otak mereka menjadi cemerlang karena rutin membaca sehingga mampu merancang rencana Indonesia merdeka 1945.
Kehidupan yang berkualitas dibentuk melalui aksara-aksara. Impian akan dunia yang indah digambarkan melalui serangkaian kalimat yang padu. Kita wajib mempersenjatai diri dengan kemampuan membaca dan ketajaman menulis. Karena setiap kata adalah bambu runcing. Setiap kata adalah meriam. Lalu, kapan kamu memutuskan untuk menjadi pembaca? Aku selalu melantunkan doa kepada Tuhan agar kalian yang masih enggan untuk membaca agar diberikan rahmat berupa kesenangan dalam membaca oleh Tuhan sang pencipta aksara. Tuhan bersama orang yang membaca. Aamiin.