Zaman Serba Boleh
Oleh DR Muhyi Mohas
Anak kandung liberalisme itu bernama *permisive sociaties* (masyarakat yang serba boleh). Pada masyarakat yang serba boleh pilihanya adalah apa yang menguntungkan bagi dirinya (pragmatis).
Apa yang dipandang tidak pantas atau jahat oleh publik tidak akan mengubah pikirannya sepanjang tidak merugikan kepentingannya sendiri.
Lihat juga Wakil Rakyat yang Alakadarnya
Dalam wilayah politik atau hukum, tidak ada urusannya dengan etika, moral, karena kepentingannya hanya pada tercapainya tujuan.
Ini yang disebut dalam kritik madzhab Frankfurt terhadap rasionalitas Barat (rasionalitas-tujuan) yang telah menyebar pengaruhnya ke segenap segi kehidupan dan tingkah laku sosial, Marcuse, menyebutnya sebagai *one dementional man* yang melukiskannya bagaimana proses rasionalisasi masyarakat bermuara ke dalam sebuah tragedi besar.
Karena mendewasakan rasionalitasnya yang semula dianggap memberi otonomi dan kebebasan, manusia dewasa juatru terperangkap dalam jaringan birokrasi impersonal dan kehilangan makna serta aspirasinya sebagai makhluk bermartabat (F.Budi Hardiman, 1993: 73-74).
Perangkap pragmatisme yang hanya berorientasi pada tujuan itu masuk juga pengaruhnya ke dalam pendidikan yang tidak lagi menjunjung tinggi idealisme dan nilai-nilai pembebasan, melainkan kampus sebagai ajang perebutan kekuasaan sebagaimana layaknya dalam pemilihan kepala daerah atau pemilihan presidenpemilihan presiden.
Aroma itu makin terasa ketika pemilihan rektor dan semacam itu. Sebagian orang di dalamnya sekadar mempertimbangkan kepada siapa ia memilih dan mendapatkan apa.
Tindakan rasional semacam itu persis dalam tindakan politik praktis. Meminjam istilah WS. Rendra, menyebutkannya manusia belum menjadi modal sosial (bc.subyek), melainkan baru menyediakan diri sebagai modal politik (bc.obyek).
Misi dan tindakan kampus sebagai agen perubahan yang sedang berhadapan dengan kerusakan sosial, politik, ekonomi, dan budaya, yang terjadi tidaklah menjadikan politik kepentingan sebagai arus utamanya, melainkan memberikan orientasinya pada nilai-nilai sebagai makhluk bermartabat.
Weber, menyebutnya *rasionalitas nilai* berupa kesadaran nilai-nilai etis, estetis, dan religius. Ciri substantifnya adalah mementingkan komitmen rasionalitasnya terhadap nilai yang dihayati secara pribadi, yang merupakan deduksi kaidah-kaidah praktis dari prinsip-prinsip universal, seperti kesamaan dan keadilan (ibid.,h. 75).
Dan agama mengajarkan manusia sebagai *laqod kholaqnal insana fii ahsani taqwim* yang orientasinya pada proses, bukan hasil. Bahwa manusia sebagai makhluk penciptaan Allah Swt, yang paling mulia, sempurna, memiliki nurani yang meyakini ada kebenaran yang transendental yang dikenali dengan pemaknaan akan suatu *gejala* yang dalam terminologi al-Qur’an diperintahkan *membaca* (iqro, bacalah), baik secara *teks* maupun dari tanda-tanda yang secara empirik (kontekstual) terdapat dalam sebuah peristiwa yang menyebar di sekitar kehidupan kita.
Kritik Ernest Gellner, terhadap gerakan postmodernisme yang memandang kebenaran itu relatif (relativisme), yang oleh kekhawatiran Ernest, disebut gagasan yang dibawanya terlalu halus dan labil, bahkan angin-anginan, untuk ditangkap dan didudukan secara tepat.
Bagi Ernest, dunia bukanlah totalitas benda sebagaimana dalam gagasan postmodernisme bahwa dunia adalah totalitas benda itu, melainkan dunia adalah totalitas makna yang dapat ditangkap oleh panca indera (Gellner, 1994: 40-41).
Dengan perkataan lain, jika dipahami bahwa kebenaran ditempatkan pada pemaknaannya yang transendental harus pula diyakini secara kontekstual dapat dibaca sebagai guidence untuk merepresentasikan kebenaran itu dalam bangunan interaksi sosial kehidupan manusia. Keyakinan itu seperti percaya bahwa apa yang dilakukan di dunia dipertanggungjawabkan pula di akhirat.
Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda) semuanya, kemudian Dia perlihatkan kepada para malaikat, seraya berfirman, “sebutkanlah kepada-Ku nama semua (benda) ini, jika kamu yang benar” (QS, 2: 31).
Wallahu’alam bisshowaab. (*)
*Penulis adalah akademisi Univeritas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) Banten.