Opini

Tak Semua Harus Dikatakan karena Pasal Pidana Menanti, Kawan

Ussy Sulistiawaty ditemani oleh kuasa hukumnya, Sandi Arifin, menyambangi Polda Metro jaya, Jakarta Selatan, Selasa (11/12/2018). Kehadiran Ussy Sulistiawaty dalam rangka melaporkan beberapa akun Instagram yang telah mem-bully putrinya, Nur Amalia, atau yang akrab disapa Amel. Sandy Arifin menjelaskan, ada belasan akun Instagram yang dilaporkan oleh Ussy Sulistiawaty karena sudah mem-bully anaknya di media sosial. (https://www.liputan6.com/showbiz/read/3805134/anak-di-bully-ussy-sulistiawaty-lapor-polisi)

Anak Farah Quinn dan Carson Quinn, Armand Fauzan Quinn mendapatkan bully-an dalam akun Instagram miliki Farah. Anaknya di-bully para haters, Farah sama sekali tidak akan melaporkan kasus tersebut ke pihak berwajib.

Bukan tanpa alasan chef seksi itu tidak mau melaporkan hal tersebut ke pihak berwajib. Kenapa?. “Kalau masih bisa diselesaikan sendiri ya nggak usah lapor polisi. Kalau lapor polisi, ujung-ujungnya nanti mengeluarkan banyak uang untuk ini dan itu. Kecuali kalau kelakuannya sudah merusak nama kita dan mengancam keselamatan kita ya kenapa nggak dilaporkan,” katanya saat ditemui di kawasan Trans TV, Jakarta Selatan, Kamis (68/2015) malam. (https://hot.detik.com/celeb/d-2985799/anak-di-bully-haters-farah-quinn-tak-akan-lapor-polisi)

Jika di atas cerita para selebritis, maka yang ini adalah cerita orang kebanyakan seperti kita:

Pada Rabu pagi, 31 Mei 2017 sekitar pukul 09.00 WIB sejumlah anggota polisi mendatangi rumah Yhunie Rhasta di Kelurahan Pasir Putih, Kabupaten Bungo, Jambi. Ia dijemput dan dibawa ke Mapolres Bungo untuk mempertanggungjawabkan ucapannya di media sosial. Dalam status Facebook-nya, Yhunie menuliskan, “Polisi kmpng gilo kmpret Pling mlz brusan dngn polisi.”

Status tersebut langsung mendapat banyak tanggapan dari sejumlah netizen. Belakangan, status tersebut dihapus. Namun, status tersebut sudah terlebih dahulu di-screenshoot seseorang dan sempat viral di Kabupaten Bungo.

Kepada polisi, gadis berkulit putih itu mengaku alasan menulis status di Facebook karena kesal saat terjaring sebuah razia kendaraan bermotor. Padahal, ia ditilang karena tidak menggunakan helm saat berkendara.

Kasat Reskrim Polres Bungo, AKP Afrito membenarkan atas peristiwa tersebut. Pelaku yang belakangan bernama asli Yuni itu dikenakan Pasal 45 ayat 1 Undang-Undang Informasi dan Teknologi Elektronik (ITE) dengan ancaman kurungan enam tahun penjara dan denda Rp 1 Miliar. (https://www.liputan6.com/regional/read/2973260/latah-di-facebook-gadis-jambi-terancam-6-tahun-penjara)

Mahasiswi Strata 2 Universitas Gadjah Mada (UGM) Florence Sihombing, jengkel pada Pertamina di kawasan Lempuyangan, Yogyakarta. Florence geram, karena ditolak petugas pihak SPBU saat ingin mengisi Pertamax 95 untuk sepeda motornya di tengah kesemrautan kelangkaan subsidi bahan bakar minyak (BBM) Agustus 2014.

LIhat juga Berpotensi Langgar HAM, Komnas HAM Rekomendasikan Setop Perpanjangan Permenaker 5/2023

Florence merasa dipermalukan lantaran disoraki setelah dituding menyerobot antrean. Tidak cuma pada Pertamina, umpatan Florence juga mengarah pada warga Yogyakarta.

Dia pun meluapkan amarahnya di jejaring sosial, Path. Dalam sekejap, buah ketikan jemari Florence menyebar, warga Yogyakarta pun berang. Florence diminta angkat kaki dari kota pelajar itu.

Ujungnya, dia divonis hukuman 2 bulan penjara dan masa percobaan selama 6 bulan oleh Pengadilan Negeri Kota Yogyakarta. Florence juga didenda Rp 10 juta subsider 1 bulan penjara. (https://www.voaindonesia.com/a/menghina-melalui-media-sosial-mahasiswi-ugm-divonis-2-bulan-penjara/2701021.html)

Ervani Emi Handayani, warga Gedongan, Bantul, Yogyakarta dilaporkan ke polisi karena status yang ditulisnya di Facebook mengenai mutasi suaminya pada 9 Juni 2014.

Sebulan kemudian, 9 Juli 2014, Ervani dipanggil polisi untuk dimintai keterangan. Usai pemeriksaan, dia langsung ditetapkan sebagai tersangka kasus kasus pencemaran nama baik dan pelanggaran UU ITE.

Dia lalu ditahan pada 29 Oktober 2014. Permintaannya agar penahanannya ditangguhkan dikabulkan majelis hakim Pengadilan Negeri Bantul pada Senin 17 November 2014.

Dalam persidangan yang masih bergulir, Ervani Emi Handayani, dituntut 5 bulan penjara dengan masa percobaan 10 bulan.

Ervani dinyatakan terbukti bersalah telah mendistribusikan informasi dalam alat elektronik yang memilikimuatan penghinaan dan pencemaran nama baik, sesuai UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yaitu Pasal 45 ayat 1 jo Pasal 27 ayat 3 UU RI nomor 11
tahun 2008.

Berikut status yang ditulis Ervani: “Iya sih Pak Har baik, yang nggak baik itu yang namanya Ayas dan spv lainnya. Kami rasa dia nggak pantas dijadikan pimpinan Jolie Jogja Jewellery. Banyak yang lebay dan masih labil seperti anak kecil!

Namun pada Januari 2015, Ketua Majelis Hakim sidang Ervani Sulistyo M Dwi Putro memutuskan, Ervani bebas dari dakwaan pencemaran nama baik dan penghinaan. Majelis hakim menilai, unsur dengan sengaja mencemarkan nama baik dan penghinaan tidak terpenuhi. Oleh karena itu terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan. (https://nasional.tempo.co/read/622425/kasus-medsos-penahanan-ervani-emi-ditangguhkan)

Semua berita yang saya kutip dari berbagai media massa di atas adalah contoh begitu dahsyatnya akibat dari perbuatan jari kita. Jari kita, dengan arahan otak dan perasaan kita tentunya, bisa begitu berdampak pada jalan hidup kita selanjutnya.

Penghinaan yang dilakukan di media sosial, diatur pada pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU 19/2016). Pada prinsipnya, tindakan menunjukkan penghinaan terhadap orang lain tercermin dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang berbunyi:
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”.
Adapun ancaman pidana bagi mereka yang memenuhi unsur dalam Pasal 27 ayat (3) UU 19/2016 adalah dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 750 juta.

Di samping itu, secara hukum, seseorang yang merasa nama baiknya dicemarkan dapat melakukan upaya pengaduan kepada aparat penegak hukum setempat, yakni kepolisian. Terkait ini, Pasal 108 ayat (1) dan ayat (6) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur:
Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun tulisan; Setelah menerima laporan atau pengaduan, penyelidik atau penyidik harus memberikan surat tanda penerimaan laporan atau pengaduan kepada yang bersangkutan.

Bagaimana perjalanan UU ITE hingga dituding jadi alat kriminalisasi?

Wacana revisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) kedua kalinya mengemuka usai pernyataan Presiden Jokowi beberapa tahun lalu . Jokowi menyatakan, UU ITE bisa direvisi apabila tidak memberikan rasa keadilan di masyarakat, khususnya soal pasal-pasal yang dianggap karet atau multitafsir. Sikap Jokowi soal revisi UU ITE tak lepas dari pandangan masyarakat yang mengeluhkan UU tersebut.

Sebab ketika Jokowi meminta masyarakat lebih aktif mengkritik pemerintah, di saat yang sama warga justru resah kritikannya bisa berujung laporan ke polisi dengan pijakan UU ITE. Keresahan yang turut disuarakan eks Wapres Jusuf Kalla.

Dikutip dari berbagai sumber, gagasan adanya UU ITE bermula sekitar awal tahun 2000 saat era Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.

Ketika itu, masih terjadi kekosongan hukum di ranah dunia maya atau siber. Sehingga 2 (dua) perguruan tinggi negeri, Universitas Indonesia dan Universitas Padjadjaran, masing-masing menyusun konsep RUU cyberlaw.

Unpad yang dipimpin Prof. Mieke Komar Kantaatmadja, menyusun RUU cyberlaw sebagai UU yang memayungi seluruh aturan teknologi informasi.

Lihat juga Zaman Serba Boleh

Sehingga RUU cyberlaw versi Unpad bersifat umum yang mengatur mulai dari perlindungan hak pribadi, e-commerce, persaingan usaha tidak sehat, perlindungan konsumen, hak kekayaan intelektual, dan tindak pidana siber. Konsep cyberlaw Unpad tersebut bernama RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi (TI).

Sedangkan RUU cyberlaw versi UI diinisiasi Lembaga Kajian Hukum Teknologi (LKHT) Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang dipimpin Edmon Makarim. Konsep RUU cyberlaw versi UI bersifat spesifik, hanya mengatur yang berkaitan dengan transaksi elektronik, semisal tanda tangan digital. UI menamainya RUU Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik (IETE).

Sementara itu Plt. Kepala Biro Humas Kementerian Kominfo saat itu, Ferdinandus Setu, dalam keterangannya pada Februari 2019 menyatakan, gagasan UI dan Unpad kemudian digabung menjadi satu naskah RUU pada 2003. Saat itu, era Presiden Megawati di mana Menteri Negara Komunikasi dan Informasi dijabat Syamsul Mu’arif.

Setelah melalui pembahasan di DPR yang berlangsung sejak 2003, UU ITE akhirnya disahkan DPR pada 25 Maret 2008. UU ITE kemudian diteken Presiden SBY pada 21 April 2008 dan diundangkan di hari yang sama.

Jika membaca hal di atas, tujuan utama adanya UU ini sedianya untuk melindungi transaksi perdagangan yang dilakukan secara elektronik. Kajian yang dilakukan ke-dua perguruan tinggi itu pun spesifik, dan tidak terbayang UU ITE yang kita kenal sekarang kok malah lebih terkenal sebagai UU yang membayang-bayangi netizen akan ancaman pidana bagi yang kebablasan bicara di media sosial dan dianggap menyinggung perasaan individu atau kelompok

Seperti yang kita ketahui, bagian pertama UU ITE saat ini mengatur persoalan e-commerce seperti market place, nama domain, tanda tangan elektronik baik yang digital (mengandung algoritma private dan public key infrastructure) maupun non digital (scan tanda tangan, password, pin, dan sidik jari).

Bagian kedua UU ITE terkait pasal pidana atau tindak pidana teknologi informasi memuat banyak sub bagian. Sub bagian satu adalah ilegal konten seperti informasi SARA, ujaran kebencian, informasi bohong/hoaks, penipuan online, pornografi, judi online, dan pencemaran nama baik.

Sub bagian dua adalah akses ilegal seperti hacking. Sub bagian tiga mengenai illegal interception seperti penyadapan, dan sub bagian empat mengenai data interference seperti gangguan atau perusakan sistem secara ilegal yang tertuang.

Tak lama usai disahkan, UU ITE ketika itu sudah mendapat berbagai kritik. Ancaman kriminalisasi menggunakan UU ITE sudah lama disuarakan berbagai pihak, secara khusus terhadap berlakunya Pasal pencemaran nama baik dan ujaran kebencian/SARA.

Setahun berselang, DPR bersama Kementerian Kominfo akhirnya merevisi UU ITE dan disahkan pada 27 Oktober 2016. Revisi UU ITE diteken Jokowi pada 25 November 2016 dan diundangkan di hari yang sama.

Meski sudah direvisi, pasal-pasal pidana atau pasal-pasal karet di UU ITE yang dituding bisa menjadi alat kriminalisasi masih eksis. Walau demikian, Kementerian Kominfo menyatakan pasal-pasal yang dianggap karet sudah dibuat penegasan melalui lampiran penjelasan agar tak multitafsir.

Kementerian Kominfo menyebut setidaknya ada 7 poin utama dalam revisi UU ITE pada 2016 dan salah satunya adalah poin yang menegaskan bahwa ketentuan tersebut adalah delik aduan bukan delik umum; serta menegaskan bahwa unsur pidana pada ketentuan tersebut mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan fitnah yang diatur dalam KUHP.

Kini, Presiden Joko Widodo kembali membuka wacana soal revisi UU ITE. Apakah terlaksana?, apakah tepat pasal-pasal mana yang akan direvisi?, apakah cukup mampu menjadi angin segar bagi situasi kebebasan berpendapat di muka umum?. Namun yang terpenting bagi kita adalah: berkomunikasi di dunia maya sama halnya dengan di dunia nyata. Jangan katakan hal yang Kamu tak mau menyampaikannya secara langsung di dunia nyata. Insyaa Allah jika itu dipegang teguh maka kita terbebas dari jerat pidana.

Leave a Reply

Back to top button
Home
Search
Daftar
Laporkan
Stats