Opini

Menggonggong tapi Tidak Menggigit: Fenomena Netizen Indonesia

Dalam laporan berjudul ‘Digital Civility Index’ (DCI), netizen Indonesia menempati urutan terbawah se-Asia Tenggara, alias paling tidak sopan di wilayah tersebut.

Microsoft mengumumkan tingkat kesopanan pengguna internet sepanjang 2020 dengan mengukur tingkat kesopanan digital pengguna internet dunia saat berkomunikasi di dunia maya, termasuk negara Indonesia.

Tingkat kesopanan warganet Indonesia memburuk delapan poin ke angka 76, di mana semakin tinggi angkanya tingkat kesopanan semakin buruk.

Kemunduran tingkat kesopanan paling banyak didorong pengguna usia dewasa dengan persentase 68 persen. Sementara usia remaja disebut tidak berkontrubusi dalam mundurnya tingkat kesopanan digital di Indonesia pada 2020.

Berawal dari 67 poin pada 2019 kemudian naik 8 poin menadi 76 pada 2020. Sistem penilaian laporan tersebut berkisar dari skala nol hingga 100. Di mana semakin tinggi skor maka semakin rendah kesopanan daring di negara tersebut.

Lihat juga Jangan Biarkan Grup Keluarga Jadi Tempat Sebar Hoaks

Laporan itu berdasarkan survei yang diikuti oleh 16.000 responden di 32 negara. Sebanyak 503 responden survei berasal dari Indonesia. Penelitian dilakukan pada April dan Mei 2020, dan baru dipublikasi pada Februari 2021.

Survei tersebut menanyakan tentang keterpaparan mereka terhadap 21 risiko online yang berbeda dalam empat kategori: perilaku, seksual, reputasi, dan pribadi/mengganggu.

Adapun daftar negara paling tidak sopan di dunia dilansir dari katadata.co.id, sebagai berikut. 1. Afrika Selatan nilai DCI sebesar 81, 2. Rusia skor DCI 80 poin. 3. Meksiko skor DCI 76 poin. 4. Indonesia skor DCI sama seperti Meksiko yaitu 76 poin.

Angka tersebut membuat Indonesia sebagai negara paling tidak sopan di Asia Tenggara. 5. Peru skor DCI sebesar 74 poin. 6. Swedia skor DCI yang sama seperti Peru yaitu 74 poin. 7. Hungaria memiliki skor DCI sebesar 73 poin 8. Brasil Skor DCI 72 poin. 9. Vietnam skor DCI sama seperti Brasil yaitu sebesar 72 poin. 10. Argentina Nilai DCI yang didapatkan 71 poin.

Dipengaruhi Tiga Faktor

Pengamat Psikososial dan Budaya, Endang Mariani mengatakan, penting untuk mengetahui metodologi dan analisis data, untuk menentukan apakah hasil penelitian dapat digeneralisasi. “Saya belum tahu pasti, teknik survei dan data yang digunakan oleh DCI. Tapi jika hasilnya demikian, maka saya berasumsi ada tiga faktor yang memengaruhi,” kata Endang seperti dilansie Kompas.com, Jumat (26/2/2021).

Menurut Endang, tak bisa dipungkiri penggunaan media sosial meningkat selama pandemi, termasuk di Indonesia. Dalam data DCI disebutkan, hoax, penipuan, dan ujaran kebencian yang mengalami kenaikan 5-13%, kemungkinan terkait dengan beredarnya berita-berita seputar Covid-19, yang berasal dari sumber yang tidak dapat dipertanggungjawaban kredibilitasnya dan kondisi pandemi Covid-19 yang berdampak pada berbagai hal.

Faktor pertama adalah ketidakpastian. Situasi pandemi yang tidak pasti, membuat masyarakat mencari informasi dari berbagai sumber. Sehingga, jika terjadi kesimpangsiuran dan banjir informasi, mereka akan percaya pada apa yang diyakini.

“Apalagi jika informasi berasal dari orang terdekat, tanpa melakukan cek dan ricek, akan langsung mem- forward apapun informasi yang diterima. Mata rantai informasi hoaks semakin panjang,” jelasnya.

Lihat juga Kita Semua Berhak Dihormati, Lawan Perundungan Online!

Faktor kedua yang disebut Endang adalah, kesulitan ekonomi selama pandemi, yang menjadi penyebab naiknya kasus penipuan. Menurutnya, sebagian orang akan mencari cara untuk mendapatkan uang, meski harus menipu orang lain.

“Dari yang saya amati, banyak penipuan yang menggunakan alasan kesusahan, sementara di sisi lain, orang Indonesia terkenal dermawan. Salah satunya berdasarkan CAF World Giving Index,” ujar doktor lulusan Psikologi Universitas Indonesia ini.

“Banyak orang segera mewujudkan keinginan memberikan pertolongan pada orang yang membutuhkan bantuan, tanpa menyadari adanya kemungkinan penipuan,” lanjutnya.

Sedangkan faktor ketiga adalah rasa frustasi. Dituturkan Endang, ujaran kebencian di media sosial, bisa jadi merupakan respons rasa frustasi yang dialami selama pandemi. Selain menjadi bentuk luapan atau ungkapan emosional, ujaran kebencian dapat muncul dari dorongan untuk melampiaskan rasa frustrasi, “Harus ada yang disalahkan”.

Dan siapa saja bisa menjadi sasaran. “Apalagi dalam dunia media sosial, seseorang dapat menyembunyikan identitas diri sebenarnya, seperti menggunakan nama samaran. Sehingga, lebih berani melemparkan kata-kata yang tidak pada tempatnya untuk membully pihak lain.

Keyboard Warrior

Berselancar di dunia maya selain menyenangkan juga membuat kita mempelajari istilah baru, salah satunya keyboard warrior. Apa itu keyboard warrior?

Istilah keyboard warrior pernah dipakai oleh beberapa tokoh publik dalam cuitannya di media sosial Twitter. Salah satunya adalah mantan presiden Amerika Serikat, Donald Trump.

“Terima kasih kepada semua keyboard warrior saya yang hebat. Anda lebih baik dan jauh lebih cemerlang daripada siapapun di Madison Avenue (Agen Iklan). Tidak ada yang sepertimu,” cuit Donald Trump pada akun Twitternya pada Kamis, 14 Mei 2020.

Banyak orang kemudian menyebut cuitan itu sebagai penyalahgunaan istilah. Ini karena Trump menggunakan istilah itu sebagai pujian, padahal keyboard warrior biasa digunakan sebagai bentuk ejekan atau hinaan. Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan keyboard warrior?

Urban Dictionary mendefinisikan keyboard warrior sebagai seseorang yang karena tidak mampu mengungkapkan kemarahannya melalui kekerasan fisik (karena punya kelemahan fisik, kurang berani atau yakin dalam kehidupan nyata), malah memanifestasikan emosi tersebut melalui teks berbasis media internet, biasanya dalam bentuk tulisan agresif yang tidak bisa diwujudkan oleh keyboard warrior dalam kehidupan nyata.

Secara singkat, keyboard warrior bisa diartikan sebagai orang-orang yang agresif menyebarkan keyakinan dan politik mereka secara online, tapi tidak secara offline. Istilah keyboard warrior lazim digunakan pada seseorang yang mengirimkan serangan brutal di internet, tapi tidak berbuat banyak dalam kehidupan nyata.

Istilah keyboard warrior juga mengacu pada seseorang yang “menggonggong tapi tidak menggigit”. Maksudnya mereka hanya berani blak-blakan, mengolok-ngolok, atau melecehkan secara online padahal di kehidupan nyata mereka terlihat lemah dan terus-terusan tutup mulut.

Komentar Jahat

Saya kerap membaca komentar-komentar netizen Indonesia pada postingan-postingan dengan konten politik dalam negeri maupun selebritis yang cukup mampu bikin saya mengelus dada, beberapa contohnya adalah kutipan yang didapatkan dari kolom komentar pada akun Instagram seorang public figure.

@rahmawatikekeyiputricantikka23 yang diduga merupakan ujaran kebencian dari para netizen Indonesia: “Dasar orang sok PD Luhh… anda pikir senyuman lo bagus? Nggak sama sekali,,”. (@rohmaaah_15). “Iiihhhhh mukanya kayak Pork!!! (disertai dengan emotikon babi)”. (@kekeyirakus).

“Cepet mati lu anjeng”. (@pandaaamerah). “Duh macam tai kucing posemu tuh”. (@lusianadevii). “Emaknya ngidam curut”. (@andihrtd_).

Dan yang mengerikan komentar satu ini: (@nadiraaa_akunkhususanime) “Saya ingin menyewa jasa pembunuh bayaran, DM klo ada udh kesel gw liat muka ini orang”.

Selanjutnya berita yang diposting pada akun media sosial Babe News pada tanggal yang sama dengan judul berita: “Viral Mengaku Tak Takut Korona, Seorang Permpuan di Padang Minta Maaf”.

Berita ini mendapatkan lebih dari 200 komentar dari para pengguna Babe News. Salah satu komentar yang tidak beretika dan berujung penghinaan terhadap suatu suku. Komentar tersebut ditulis oleh akun bernama ‘Penggusur Kadrun’, dalam komentarnya ia berkata “kalau di sumatera.. ah biasa lah orang-orang dari suku itu mah otaknya somplak”.

Faktor Pola Pikir

Di satu sisi,  layak pula kita dengarkan komentar Damian Hoo, pembuat konten asal Australia yang rajin membuat video tentang perjalanannya keliling Indonesia.

Dia mengunggah video di akun Youtube-nya tentang pengalaman ditolong warga lokal saat berada di Bandara Yogyakarta. Video itu ditonton tiga juta kali dan mendapat 6.000 lebih komentar.

Tapi Damian menemukan banyak komentar miring soal netizen Indonesia. Salah satunya: “Orang Indonesia baik di kehidupan nyata tapi mengerikan di media sosial.”

Dalam video di akun TikTok @hoointheworld, Damian mengaku terkejut dengan banyaknya komentar serupa. Dia melakukan riset dan menemukan penelitian yang dirilis Microsoft bahwa netizen Indonesia berada di peringkat ketiga terbawah dari 32 negara soal kesopanan di dunia maya.

“Orang Indonesia yang sangat sopan dan baik ke ke saya, ternyata jahat di dunia maya. Dan ternyata bukan anak muda (netizen muda) yang jahat, tetapi orang dewasa,” ujarnya.

Damian menelusuri penyebab netizen Indonesia mendapat penilaian seperti itu. Dari sekian banyak alasan yang dia dapatkan, Damian menyoroti faktor pola pikir.

“Menurutku, banyak orang Indonesia yang terjebak dalam mentalitas yang kolot. Terjebak dalam pemikiran kalau mereka percaya itu benar, itulah yang benar dan itulah satu-satunya cara yang benar,” ungkapnya.

“Apa yang mereka percaya itu benar, berarti semua hal lain salah,” imbuhnya.

Dengan pola pikir seperti itu, Damian menyebut banyak netizen Indonesia dengan mudah berkelompok dan bertengkar di dunia maya melawan hal yang mereka anggap salah.

Banyak pula ahli yang melakukan analisa penyebab netizen Indonesia seakan menyalak di media sosial sehingga terkesan jahat,  namun bungkam di dunia nyata, baik analisa ilmiah sampai yang bercyanda. Namun, dari sekian analisa yang dilontarkan, saya cenderung setuju sama analisa yang ini: Mereka  kurang dicintai, sehingga mereka cenderung memusuhi lingkungan termasuk ketika berada dalam dunia maya.

Yup, ‘cinta’ memang sedahsyat itu.

 

Back to top button
Home
Search
Daftar
Laporkan
Stats