Kegagapan Generasi X Menghadapi Generasi Z
Sering dengar istilah ‘Gen-Z’?, atau mungkin lebih familiar dengan istilah ‘milenialis’?, eh jangan salah ternyata ada generasi ‘X’ juga lho, dan setelah ‘Generasi Z’, maka penamaan akan kembali lagi ke awal yaitu ‘Generasi Alpha’. Bingung?, saya sih iya.
Label yang menarik seperti baby boomer, milenial, dan Gen X serta Gen Z cenderung melekat pada masing-masing kelompok yang dianggap memiliki pengalaman, perilaku, dan cita-cita yang sama. Ini dikenal sebagai “efek kohor”. Dalam ilmu sosial, ‘kohor’ adalah sekelompok orang yang memiliki karakteristik atau pengalaman yang sama dalam periode tertentu (seperti waktu lahir, lulus sekolah, menikah, dsb.). Sehingga misalnya saja orang-orang yang lahir pada tahun 1980an akan membentuk suatu kohor kelahiran.
Mari cek periodisasi masing-masing generasi tersebut; Generasi Baby Boomers (lahir antara Tahun1944 -1964), Generasi X (lahir antara Tahun 1965 -1979), Generasi Y atau Generasi Millenial (lahir antara Tahun 1980 – 1994), Generasi Z (lahir antara Tahun 1995 – 2019) dan Generasi Alpha lahir antara Tahun 2020 hingga hari ini. Nah ada pada kategori generasi apakah Anda?
Menarik untuk membahas Generasi Z di mata Generasi X karena berdasarkan pengamatan, konflik sering terjadi antara orang tua yang masuk Generasi X berhadapan dengan anak-anaknya yang masuk kategori Gen Z. Artinya, orang tua yang saat ini berusia 45-50 tahun menghadapi anak-anaknya yang berusia 12 tahun sampai 27 tahun. Ada yang duduk di bangku sekolah, kuliah, dan ada pula yang sudah bekerja atau baru menikah.
Bagaimana konflik yang terjadi, akar masalah, dan solusinya?
Untuk mengetahui akar masalah, maka wajib bagi kita mengenal karakteristik ke dua generasi tersebut. Secara umum, Pada zaman generasi X lah mulai digunakan personal computer atau PC, internet, video games, serta TV kabel. Generasi ini dapat beradaptasi dan juga menerima perubahan yang ada dengan cukup baik. Oleh karenanya, mereka yang lahir pada kurun waktu tersebut sering disebut sebagai generasi yang terbuka.
Generasi X ini sebagian besar mandiri, banyak akal, lebih suka sesuatu yang tidak formal, lebih memiliki kemampuan dagang atau bisnis dibandingkan dengan generasi sebelumnya atau baby boomers. Bukan hanya itu, generasi X juga membutuhkan validasi secara emosional. Generasi ini mempunyai keseimbangan antara pekerjaan dan juga kehidupan pribadi, menyukai lingkungan kerja yang positif, menginginkan kebebasan untuk dapat berkembang, serta memanfaatkan kesempatan yang ada.
Generasi X yang diasuh dengan pola asuh orang tua yang berkarir, menjadikan mereka lebih pesimis dan skeptis saat menghadapi tantangan. Akan tetapi, hal tersebut juga membuat mereka lebih toleran dan bersedia menerima berbagai perbedaan yang ada.
Sementara Generasi Z, Menurut penelitian yang dilakukan oleh McKinsey, lebih melek teknologi, kreatif, menerima perbedaan di sekitar, peduli terhadap masalah sosial, dan senang berekspresi baik di dunia maya maupun realita. Namun demikian generasi ini bukanlah yang terbaik dari generasi yang ada. Karena, generasi Z memiliki beberapa kekurangan yang menjadi penyebab Gen Z dibenci oleh generasi sebelumnya antara lain FOMO atau Fear of Missing Out. Generasi Z dikenal sebagai generasi yang bergantung kepada teknologi, khususnya internet dan media sosial. Setiap harinya, Gen Z disuguhkan oleh berbagai informasi, termasuk apa yang sedang tren hari ini. Mereka bisa merasa kuper, takut dicap nggak gaul, dan cemas jika belum mencoba tren yang ada di internet.
Gen Z juga memiliki tingkat kecemasan dan stres yang tinggi yang menurut penelitian yang dilakukan oleh American Psychological Association, stres yang dialami Gen Z disebabkan karena pandemi, ketidakpastian mengenai masa depan, berita buruk di internet, dan media sosial. Gen Z mempunyai ekspektasi yang tinggi terhadap kehidupan pribadi mereka, sehingga jika tidak berjalan sesuai keinginan akan memicu timbulnya stres.
Tak dipungkiri, media sosial telah menciptakan standar dalam berbagai aspek. Kapan waktu yang tepat untuk lulus, bekerja, menikah, dan mempunyai anak. Bagi yang belum mencapainya, hal ini menjadi faktor kecemasan atau anxiety.
Selain itu Gen Z mudah mengeluh dan self proclaimed, jadi meskipun punya kemampuan untuk mencari informasi dari berbagai sumber, kenyataannya Gen Z terlalu cepat menyerap dan mencocokan informasi dengan yang mereka rasakan. Seperti melabeli diri sebagai pengidap bipolar, membatasi pergaulan karena introvert, dan sebagainya. Generasi Z menjadikan hal ini sebagai hambatan untuk maju. Gen Z juga disebut sebagai generasi strawberry karena terkesan manja dan mudah tertekan.
Lalu bagaimana menyelaraskan hubungan generasi X dengan generasi Z? Di tengah makin maraknya generasi masa kini yang lebih mudah untuk lari dari kesulitan, padahal kemenangan dari seseorang itu adalah jika ia bisa memanage semua kesulitan-kesulitan atau obstacle tersebut.
Salah satu pemicu terbesar masalah generation gap adalah perbedaan cara komunikasi antara generasi X dengan generasi Z. Gaya komunikasi gen X dan baby boomer cenderung lebih kaku dan formal. Sebaliknya, pekerja millennial dan Gen Z terbiasa dengan cara komunikasi yang casual, informal, dan santai. Di sini kita harus mulai bisa mengatasi generation gap yang akan terjadi.
Bagi Gen Z, tidak ada salahnya jika lebih aktif membuka komunikasi yang baik dengan Gen X baik di rumah maupun di tempat kerja. Orang tua Gen Z bukan berarti tidak bisa diajak bicara dengan gaya kekinian lho. Anak saya yang semester 3, saat saya kirim bukti transfer uang bulanan jawabannya begini: “Tengkyu mamaaaa”.
Generasi X dipercaya mampu melakukan hal-hal berikut ini, sebagai upaya meminimalisir karakter buruk yang disematkan pada generasi Z yakni; Anak-anak muda perlu selalu memperbaharui literasinya. Di jaman informasi sangat cepat beredar saat ini, kita amat perlu memvalidasi kebenaran dari setiap informasi dengan berbagai cara, misalnya membaca-baca buku yang sesuai.
Selain itu, orang tua Gen Z harus terus memantau anak-anaknya agar hati-hati dalam melakukan self diagnosis, hadapilah sebuah situasi dengan sekuat tenaga karena ujian merupakan hal yang biasa terjadi. Hati-hati terhadap perangkap sosial media. Hati-hati karena sosial media juga bisa membuat orang menjadi caper dan menceritakan masalah yang dihadapinya, kadang dengan melebih-lebihkan sesuatu.
Orang tua sebagai genearasi X harus lebih baik dari dirinya. Jangan terlalu memanjakan anak dengan berlebihan. Berikan konsekuensi jika anak melakukan kesalahan. Mari kita memberi pemahaman akan banyak hal kepada anak-anak, berdampingan dengan teori pengetahuan. Keberhasilan anak-anak ke depan bukan sekedar dari pengetahuan, tetapi generasi berikutnya perlu menjadi orang yang eksploratif.
Peranan pendidik juga penting, karena sebagai pendidik harus dapat mengembangkan situasi yang menyenangkan dalam pelajaran. Keberhasilan pada kehidupan tidak sekedar berdasar dari nilai yang bisa dicapai di kelas, mereka yang juara di kelas belum tentu akan menjadi juara dalam kehidupan.
Generasi lebih tua yang terkenal lebih tangguh secara mental dapat memberikan konseling dan pendampingan kepada generasi muda, lebih jauh lagi memberi teladan/contoh yang nyata mengenai kekuatan menghadapi tekanan. Sebaliknya, generasi muda yang lebih luwes dalam masalah perkembangan jaman terutama teknologi dan ide kreatif dapat memberikan sumbangsih kemampuannya untuk kemajuan tujuan bersama, yakni keluarga yang tenang atau tenteram, penuh cinta kasih, dan berkelimpahan rahmat a.k.a sakinah, mawahdah, wa rahmah. In syaa Allah ya Besties…