Hukum dan Kekuasaan
Hukum, etika, dan moral, tidak dapat dipisahkan jika tak ingin wajah hukum itu hanyalah menampilkan wajah kekuasan, yang menjadikan hukum dibuat sekadar digunakan untuk melegitimasi tindakan atau pembenar.
Etika adalah teori moral, yang dalam bahasa agama disebut akhlaq. Moral itu keseluruhan kaidah dan nilai untuk berkehendak melakukan kebaikan.
Proyeksi hukum yang dibuat sejatinya untuk menjamin kebahagiaan semua orang. Jeremy Bentham, menyebutnya hukum (undang-undang) yang dibuat harus memberikan ekspektasi (harapan).
Itulah pentingnya etika dan moral dalam muatan hukum. Yang bagi kaum positivistic, hukum tidak ada urusannya dengan moral dan etika. Dan itu bertentangan dengan kodrat kemanusiaan, karena hukum itu dibuat untuk manusia (masyarakat) bukan sebaliknya.
Lihat juga Tak Semua Harus Dikatakan karena Pasal Pidana Menanti, Kawan
Negara hukum yang demokratis memberikan ruang kebebasan individu, dan rakyat sebagai kelompok otonom untuk berpartisipasi baik dalam pembentukan hukum (politik hukum), penegakkan hukum maupun dalam partisipasi politik (UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas dan Bersih dari Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme).
Undang-undang ini turunan dari Tap MPR-RI No. X/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara.
Kebebasan yang dijamin oleh hukum adalah kebebasan yang oleh Haryatmoko (2003: 79), dalam penjelasannya bahwa kebebasan menjauhkan diri dari egoisme dan mendekatkan diri pada yang lain dengan komunikasi dan memperhitungkan kepentingan-kepentingan mereka. Kebebasan ini akan menemukan makna moralnya ketika berhadapan dengan penderitaan.
Kebebasan yang design oleh hukum yang demokratis menempatkan kehidupan bersama secara equel, tidak diskriminatif.
Memberikan harapan ketenteraman, kedamaian dengan tujuan kesejahteraan dan keadilan. Hukum memberikan ruang batasan rasa patut, urusan private dengan kepentingan publik menjadi jelas.
Kepatutan bersifat universal, karenanya sebagaimana dalam Resolusi tentang Corruption in governmet yang diterima Kongres PBB ke-8 mengenai “the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders” di Havana (Cuba), 1990, diantara yang dimuat dalam lampiran Draft International Code of Conduct for Public Office Holders(Barda Nawawi Arief, 1998: 75) antara lain:
- Loyalitas utama dari pejabatat publik harus pada kepentingan umum, bukan pada perseorangan, partai politik, atau departemen tertentu;
- Pejabat publik jangan menggunakan kewenangannya untuk kepentingan pribadi atau keluarga;
- Pejabat publik jangan menggunakan kekayaan publik, jasa dan informasi, untuk aktivitas di luar tugas resminya
Pentingnya kehidupan bersama adalah hakekat keberadaan manusia sebagai invidual. Bruggink (2015: 224) bahwa manusia individu yang hidup di dalam masyarakatnya, yang di dalamnya sudah ada sistem-sistem dan konseptual tentang moral dan hukum.
Dengan kata lain, kehidupan manusia dalam jaminan hukum dan moral menjadi bagian integral yang melekat dengan tujuan membahagiakan, bukan sebaliknya, menyengsarakan.
Hukum tanpa etika dan moral, bekerjanya hanya berorientasi pada tercapainya kekuasaan, bukan menjamin kebahagiaan publik.
Kebahagiaan publik pemaknaannya manusia seperti dalam filsafat Ibnu Khaldun ‘al ijtima’u dhororiyyun li annawi lil insani bahwa kehidupan berjamaah adalah ciri khas manusia. Atau seperti kata Grotius, pada kodratnya manusia ingin hidup bersama-sama dengan orang lain.
Individualisme selalu merupakan suatu tendens yang ekstrim, yang memandang manusia sebagai sebuah substansi yang terisolir.
Jika, merujuk pada pemikiran di atas dapat pula dimaknai bahwa kekuasaan yang tidak didasarkan pada hukum, etika, dan moral, maka kekuasaan itu pada hakikatnya sebagai bentuk keterasingan individu dari kepentingan publik, karena pada hakikatnya pula bahwa manusia itu adalah makhluq bermoral, tidak mementingkan diri sendiri mengabaikan kepentingan orang lain.
Dan seperti kata Plato, ketika membahas tentang negara, bahwa hukum itu percerminan akal manusia yang paling sempurna (the reflection of the common human reasion in its full development), bahwa untuk membedakan negara yang baik atau negara yang buruk itu, apakah negara itu diperintah oleh hukum, atau tidak (Sunaryati Hartono, 1991: 40).
Manusia sebagai makhluq moral, rasional dan sosial, menurut Ariestoteles, kualitas hukum yang berlaku itu akan diukur dengan kretarium sejauh mana sifat moralitas, rasionalitas, dan kemasyarakatan ini dikembangkan di dalamnya.
Dapat pula dikatakan, kesempurnaan manusia akan tampak pada kesadarannya untuk hidup tidak mementingkan diri sendiri, melainkan mengembangkan kesadarannya itu bagi kepentingan kehidupan bersama.
Wallahu’am bisshowab