Dihantui Jejak Digital?, Kita Bisa Apa?
Kecuali kamu seorang influencer, calon pemain film, atau caleg, mendingan hati-hati deh kalau akan unggah konten, menyampaikan pesan melalui direct message, coba-coba komen nyeleneh di postingan orang, mengisi survey online bahkan mengirim email. Kenapa? Karena itu semua adalah jejak digital aktif atau informasi yang secara sadar kamu bagikan di internet.
Informasi yang secara sadar kamu bagikan aja sudah cukup berbahaya, lalu bagaimana dengan jejak digital pasif yakni informasi yang kamu tinggalkan di internet tanpa sadar atau data yang dikumpulkan secara otomatis oleh pihak lain tanpa sepengetahuan pemilik jejak digital. Apa saja itu? . Riwayat browser, alamat IP, perangkat yang digunakan dan aplikasi yang mengakses lokasi GPS kamu.
Apa yang salah dengan jejak digital?, mengapa kok ‘membahayakan’?. Seorang teman bercerita keponakannya gagal pada tes akhir penerima beasiswa luar negeri karena tim perekrut menemukan beberapa postingan masa lalu keponakannya di media sosial yang mengomentari unggahan seorang selebritis dengan kalimat yang dinilai tidak sopan ditambah cara penulisan yang amburadul.
Seorang kawan lain bercerita, dia selalu gagal mendapatkan pekerjaan karena rekruter disinyalir meneliti jejak digital yang sempat dia torehkan pada masa mudanya. “Selain sering komen sana sini tanpa saya pikir dulu, saya juga sering download film-film bajakan dari sumber tak jelas, bahkan ga keitung juga seberapa sering saya bikin status di media sosial yang isinya terkesan menghina, menyindir, bahkan nyumpahin orang”, ujarnya. “Padahal saya sudah deactivated akun lho, tapi kok pertanyaaan wawancara HRD sepertinya mereka tahu banget aktivitas medsos saya yang sudah lampau”, lanjutnya heran.
Kamu harus tahu lho, saat kita meninggalkan jejak digital, kita bisa memengaruhi perspektif seseorang. Yang awalnya mereka mengenali kita sebagai seorang pendiam, setelah mereka lihat postingan kita yang galak maka mereka bisa memandangmu dari sudut pandang baru.
Pengaruh ke Dunia Kerja
Konten-kontenmu, dan perilakumu di media sosial bisa banget lho mempengaruhi HRD perusahaan tempatmu melamar pekerjaan dan jika akun media sosialmu tidak sesuai ekspetasi, bisa saja kamu gagal untuk direkrut.
Dalam artikel yang dimuat di https://theconversation.com, disebutkan bahwa di belakang layar, 80% perusahaan dan agen rekrutmen menggunakan konten media sosial sebagai bagian dari penilaian kecocokan kandidat. Berperilaku terbuka di dunia maya mengenai kondisi kesehatan, masalah kecanduan, dan ‘kenakalan’ dapat memengaruhi derajat kesuksesan ketika melamar pekerjaan. Sama halnya dengan profil pengguna yang menunjukkan pandangan memihak, gaya hidup yang tidak umum, atau kebiasaan berpesta secara berlebihan.
Lihat juga Menggonggong tapi Tidak Menggigit: Fenomena Netizen Indonesia
Ini penting kita ketahui, terutama para pencari kerja khususnya yang memiliki jejak digital yang masif dan berlangsung selama bertahun-tahun di berbagai platform. Jejak digital ini bisa saja merefleksikan versi diri mereka terdahulu, dan merupakan eksperimen dari identitas dan pendapat mereka selama mereka bertambah dewasa dan menemukan jati diri mereka.
Masih pada artikel di atas dipaparkan bahwa responden mereka menyampaikan bagaimana mereka menghadapi tekanan teman sebaya (peer pressure) untuk berkomentar mengenai topik-topik yang tengah hangat, walaupun tanpa keinginan untuk mengekspresikan pendapat mereka di ranah publik.
Sebagian lainnya menyatakan penyesalan atas pendapat yang mereka ungkapkan secara kasar seputar isu politik, ras, dan seksualitas – pendapat yang tampaknya dapat diterima sebagai remaja namun tidak elok dalam pandangan orang dewasa.
Membersihkan jejak digital
Membersihkan jejak digital secara teliti sering kali membuat orang kewalahan. Mereka kesulitan untuk mengingat apa yang pernah mereka unggah di berbagai kanal selama bertahun-tahun, dan menghindari merapikan media sosialnya – sambil berusaha meyakinkan diri mereka sendiri bahwa konten mereka membosankan dan tidak akan menarik perhatian orang lain.
Sebagian orang memilih untuk menghapus beberapa atau semua akun media sosial mereka. Tetapi, menghapus memang hal yang sulit dilakukan mengingat semua ‘kenangan’ yang telah kita torehkan melalui unggahan-unggahan kita.
Eksistensi kita melalui media sosial sebetulnya bisa juga kita jadikan sebagai alat untuk membangun legitimasi dan menjadi representasi identitas – siapa kita, dengan siapa kita bergaul, serta aktivitas dan opini kita.
Perlu diakui, identitas tersebut mungkin menampilkan sosok kita yang sudah “dibersihkan” dan dikonstruksi secara hati-hati dengan mempertimbangkan audiensi daring.
Merapikan jejak digital memang melelahkan, tetapi kemudian menjadi penting untuk memasuki dunia kerja. Digital Creator dan Pegawai BUMN, Forbes 30 Under 30, Vina Muliana mengatakan, 95 persen perekrut melakukan verifikasi latar belakang (background verification) dari kandidat yang akan mereka terima.
Adapun, salah satu aspek yang diverifikasi adalah media sosial. “Ini membuktikan bahwa mereka yang memiliki jejak digital yang baik nantinya akan lebih mudah menarik perhatian para recruiter,” kata dia dalam siaran pers Minggu (14/8/2022).
Vina memberikan definisi sederhana personal branding, misalnya yang pertama adalah apa persepsi orang terhadap kita sebelum mengenal kita lebih dekat. Kedua, apa yang orang-orang bicarakan tentang kita saat kita tidak ada di tempat.
Untuk itu, penting untuk membangun sebuah personal branding yang sehat dan bukan sekedar pencitraan.
Kemudian, dalam membuat sebuah konten di media sosial, penting untuk tanyakan tiga hal ini, apakah konten tersebut penting dan berhubungan dengan kehidupan orang-orang, lalu apakah bisa menjadi solusi atas kebutuhan dan permasalahan yang ada. Terakhir, apakah konten di media sosial bisa memotivasi atau menghibur orang-orang.
“Dengan memikirkan hal-hal tersebut dalam membuat konten, akan membuat personal branding yang dicitrakan semakin maksimal,” tutur Vina. Vina menegaskan, personal branding bukan hanya sekedar memberi cap pada diri sendiri, tetapi juga cara untuk bisa memberikan dan menyampaikan manfaat serta value di dalam diri.
Diagnosa Dirimu
Bisa dicoba hal berikut, Google dirimu sendiri. Minta teman dari temanmu untuk mencarimu secara daring dan lihat apa yang mereka temukan. Jika memungkinkan, hapus konten yang muncul yang membuatmu terlihat buruk.
Jika kamu disertakan dalam konten yang diunggah oleh orang lain, minta mereka untuk mentakedownnya. Lepaskan namamu dari tag (tanda) yang dibubuhkan temanmu. Jika semuanya gagal, putuskan koneksi online dengan mereka yang menandaimu pada saat-saat terburukmu, sehingga konten-konten tersebut tidak lagi terasosiasi dengan dirimu.
Perkembangan teknologi telah bisa melakukan banyak hal. Perusahaan internet bisa tahu dengan pasti siapa pengakses layanan mereka.
Video YouTube apa saja yang ditonton, kata-kunci apa saja yang pernah dicari via Google, berapa kali kunjungan ke WordPress, titik-titik lokasi dan perjalanan kita yang terekam dalam Google Maps, merupakan jejak digital yang pasti tertinggal sadar atau tak sadar.
Jejak digital sanggup mendeskripsikan dengan baik siapa seseorang. Direktur Electronic Privacy Information Center Marc Rotenberg pada The Times, mengatakan jejak digital “sangat menakutkan daripada yang diduga.”
Hampir segala kegiatan manusia kini berhubungan dengan internet, Alex Manfrediz, analis IDC, mengatakan “tak ada jalan yang sebenar-benarnya hilang dari jejak digital, kecuali Anda ialah seorang pertapa.”
Benarkah demikian? Technical Consultant PT Prosperita ESET Indonesia Yudhi Kukuh dalam artikel yang dimuat tirto.id mengatakan jejak digital bisa dihapus.
Kuncinya, ada di handphone atau smartphone yang digunakan penggunanya. “Privasi kita ada di handphone. Ke mana-mana bawa dia. Ini kunci tracking,” terang Yudhi.
Menurutnya pengguna internet yang ingin menghilangkan jejak digital, hal pertama yang harus dilakukan ialah jangan mengkoneksikan smartphone lama dengan akun layanan yang digunakan, misalnya Google Account.
Selain smartphone, menurut Yudhi, yang mesti diperhatikan untuk menghapus jejak digital ialah e-mail.
Dalam dunia digital, e-mail ialah kunci memasuki layanan-layanan yang tersedia. Tatkala e-mail sukses diambilalih penjahat maya, segala tindak-tanduk penggunanya bisa mudah diketahui.
Menghapus jejak digital artinya mengamankan e-mail yang digunakan untuk mendaftar di layanan internet.
Lihat juga Kita Semua Berhak Dihormati, Lawan Perundungan Online!
Layanan Internet
Robb Lewis, penggagas Justdelete.me, situsweb menyampaikan layanan internet mana saja yang mudah/sedang/susah menghapus data para penggunanya. Menurutnya, pengguna internet hanya mampu untuk “menonaktifkan.”
Facebook diberi simbol “kuning” oleh situsweb itu yang berarti “sedang.” Ini terjadi lantaran, saat pengguna menghapus akun Facebook, perpesanan yang pernah dikirim masih disimpan media sosial itu.
YouTube, Justdelete.me memberikan label “hitam.” Seseorang tak dapat menghapus jejaknya di YouTube kecuali orang itu juga menghapus akun Google yang terkoneksi.
Abby Ohlheiser dari Washington Post, merujuk Bradley Shear, pengacara yang berfokus pada masalah media sosial dan privasi, mengatakan menghapus jejak digital sangat sulit. Salah satu cara yang bisa diperbuat ialah melahirkan informasi alternatif di internet.
Informasi alternatif ialah memberikan informasi yang bukan sebenarnya pada layanan-layanan internet yang digunakan. “Jangan pernah memberikan tanggal lahir yang sebenarnya,” kata Shear.
“Selalu gunakan tanggal lahir palsu,” tambahnya. “Sediakan fakta alternatif lain sebanyak-banyaknya,” tambah Shear.
Dengan melahirkan informasi alternatif, layanan internet yang memiliki jejak digital tak akan tahu siapa diri Anda. Langkah ini memang bisa jadi alternatif dibandingkan berusaha susah payah menghapus jejak digital.
Namun, segala alternatif menghapus jejak digital tadi akan bermanfaat jika selanjutnya kita selalu berhati-hati dalam urusan berinternet dan selalu menjadi diri sendiri saat berinteraksi di dunia maya.
Menjadi diri sendiri berarti menjadi versi terbaik dari dirimu, sebagaimana kau ingin dipersepsi orang lain. Bisa?, Bisa dong!