Secandu Apa Kamu pada Gadget?
“Saya adalah korban gadget dan world wide web (www),Bu. Pernah selama 1 (satu) minggu, setiap harinya, screentime saya 19,5 jam. Mata saya kena, jari saya kaku-kaku, dan badan saya mengigil jika tidak pegang gadget”, seorang siswa SMA gagah, tegap, menyampaikan dalam sebuah diskusi buku akhir pekan kemarin. “Saya ingin lepas dari kecanduan saya Bu, tapi kok rasanya susah ya”, lanjutnya. “Saya ikutan kursus montir, gabung klub buku, mulai tanam hidroponik, tapi tetap, ketergantungan saya pada gadget mampu mengalahkan semua upaya saya itu”, ucapnya pelan.
Saya, malah fokus pada performa dia. Cara dia menuturkan ceritanya, cara dia memilih kata, gestur tubuhnya saat menyampaikan, sungguh menunjukkan dia seorang cerdas dengan potensi luar biasa. Lalu, bagaimana nasibnya jika kehidupannya dihabisi oleh banalnya dunia maya?. Saya tak sanggup membayangkannya.
Ingatan saya melayang pada sebuah keluarga, kenalan saya, yang tampak bahagia sejahtera loh jinawi, orang tua yang mapan, anak-anak perempuan remaja beranjak dewasa yang sehat dan cerdas. Alih-alih kesibukan kedua orang tuanya, maka mungkin untuk mengurangi rasa bersalah sebagai orang tua yang tidak bisa mendampingi anak-anaknya tumbuh, maka segala kebutuhan anak dipenuhi dengan maksimal. Gadget keluaran terbaru dengan paket data yang tak terbatas adalah salah satunya.
Suatu hari sang ibu, yang notebene adalah tulang punggung keluarga terkena kanker stadium lanjut. Saat proses pengobatan, saya perhatikan anak-anak mereka minim perhatian pada ibunya. Mereka lebih sibuk dengan gadgetnya, tertawa-tawa sendiri di pojokan rumah sakit. Saat ibunya dinyatakan meninggal, reaksi mereka hanya mendongakan kepala mereka sebentar dari gadgetnya, mengucap innalillahi nyaris tak terdengar, lalu melanjutkan menundukkan kepalanya menatap layar gadget mereka. Sungguh sebuah reaksi yang mengejutkan bagi kami, generasi X, yang sampai sekarang pun belum kebayang, bagaimana rasanya ditinggal ibu kandung selama-lamanya.
Sekarang, anak pertamanya harus putus sekolah dan rutin minum obat dari dokter kejiwaan dengan diagnose: attention defiIcit hyperactivity disorder atau ADHD. ADHD adalah gangguan mental yang menyebabkan seorang anak mengalami kesulitan untuk memusatkan perhatian dan memiliki perilaku yang impulsif serta agresif
Kepala Instalasi Rehabilitasi Psikososial RS Marzuki Mahdi (RSMM) Bogor dr. Lahargo Kembaren menjelaskan bahwa adiksi gawai terjadi di seluruh dunia. “Badan Kesehatan Dunia (WHO) menamakannya gaming disorder yakni gangguan jiwa karena permainan game yang berlebihan,” kata Lahargo.
Kata Lahargo, gangguan jiwa karena pemakaian gawai bisa berupa depresi, keadaan tegang yang tidak bisa membedakan ilusi dengan kenyataan, hingga gangguan mental (bipolar disorder); perasaan senang dan sedih yang berlebihan.
Dokter Lahargo menjelaskan, penanganan pada anak yang adiksi gawai harus dilakukan secara holistik. Mulai dari pemberian obat psikofarmaka, terapi perilaku, dan rehabilitasi psikososial. Lahargo menegaskan, semua upaya rehabilitasi penderita adiksi gawai harus disertai detoksifikasi digital. “Selama terapi harus diajuhkan dari gawai yang jadi sumber kecanduannya,” kata Lahargo.
Setelah pulih, kata Lahargo, anak harus punya cara baru dalam memakai gawai. Katanya, orang tua harus punya aturan yang membatasi pemakaian gawai oleh anak-anak.
Tingkat penetrasi internet di Indonesia tercatat meningkat menjadi 78,19% pada 2023, dari persentase tahun sebelumnya, yakni 77,02%. Artinya, jumlah penduduk terkoneksi internet yakni mencapai 215,62 juta jiwa dari total populasi 275,77 juta jiwa penduduk Indonesia. Angka tersebut meningkat 5 juta jiwa dari total warga yang terkoneksi internet pada tahun lalu, yakni sebesar 210 juta jiwa. Kesimpulan ini merupakan hasil survei bertajuk Penetrasi dan Perilaku Internet 2023 yang dilakukan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII).
Kepala Departemen Medik Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM) Kristiana Siste Kurnia Santi mencontohkan, dirinya merawat seorang pemuda berusia 18 tahun yang terancam drop out karena tidak pernah berangkat kuliah. Sehari-hari, pemuda itu lebih sering bermain gim daring, bisa 18 jam sehari. Agar bisa tetap terjaga saat main gim, pemuda itu mengonsumsi sabu dan metamfetamin. Dari riwayatnya, pemuda itu memiliki gawai sejak usia 6 tahun, main gim daring sejak usia 13 tahun, dan mulai kecanduan di usia 17 tahun, dan sangat kecanduan di usia 18 tahun.
Dari sisi usia, anak yang rentan mengalami kecanduan gawai berada di rentang usia 13-18 tahun. Pada usia anak, bagian otak, yaitu dorsolateral prefivntal cortex yang berfungsi untuk mencegah seseorang bersikap impulsif sehingga seseorang bisa merencanakan dan mengontrol perilaku dengan baik, belum matang. “Ketika bagian ini sudah terganggu, seseorang rentan bersikap impulsif, termasuk pada penggunaan gawai,” kata Kristiana.
Lihat juga Penghitungan Populasi Manusia Menggunakan Algoritma Biometrik AI
Penggunaan gawai pada anak dan remaja yang lebih dari 3 jam dalam sehari dapat menyebabkan mereka rentan pada kecanduan gawai. Kecanduan gim pada gawai saat ini mendapat perhatian dunia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) belum lama ini mengeluarkan International Classification of Disease (ICD) edisi ke-11 yang menyebutkan kecanduan main gim sebagai gangguan kesehatan jiwa, yang masuk sebagai gangguan permainan atau gaming disorder.
Januari lalu,Rumah Sakit Umum Daerah Koesnadi, Bondowoso, Jawa Timur, merawat dua pelajar SMP dan SMA yang kecanduan gawai dalam tingkat yang sudah parah. Ia ingin membunuh orangtuanya yang melarang menggunakan gawai.
Fenomena anak kecanduan gawai, menurut dr Tjhin Wiguna, psikiater anak dan remaja di Departemen Medik Kesehatan Jiwa FKUI-RSCM, mulai meningkat dalam tiga tahun terakhir.
Jumlah orang tua yang datang meminta konsultasi ke lembaga lembaga perlindungan anak atau membawa anaknya ke psikolog dan psikiatri juga meningkat.
Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia Seto Mulyadi menyatakan, sejak 2013 lembaganya menangani 17 kasus anak yang kecanduan gawai. Begitu juga Komisi Nasional Perlindungan Anak, yang sejak 2016 sudah menangani 42 kasus anak yang kecanduan gawai.
Membaca itu, yang pastinya bisa sangat panjang jika saya tulis semua, maka pertanyaannya adalah: orang tua normal mana yang mau menukar sikap permisifnya atas penggunaan gadget anak-anaknya dengan kenyataan anak-anaknya kemudian menderita mental disorder dan harus mengeluarkan rupiah yang tidak sedikit untuk mengobatinya?
Atau, kita sebagai orang tua malah tidak menyadari anak-anak kita kecanduan gadget, karena sesungguhnya kita sendiri yang harus periksakan diri ke dokter?
Nicola Morgan, Penulis asal Inggris melalui bukunya berjudul Life Online jelas menyiratkan bahwa biarpun buku ini seolah ditujukan untuk remaja karena judul aslinya: Teenage Brains and Lives, namun sebenarnya buku ini harus dipedomani terlebih dahulu oleh para orang tua karena ternyata perilaku-perilaku di dunia maya saat ini, dan bagaimana orang dewasa menggunakan dunia maya tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan anak-anak mereka. Ada lebih banyak orang tua yang berperilaku serampangan di dunia maya karena mereka baru mengenal dunia maya di setengah hidup mereka bahkan di duapertiga hidup mereka.
Penulis dalam buku ini tampak berusaha keras ingin mengindarkan diri dari anggapan menghakimi orang-orang (dewasa maupun remaja) yang hidupnya saat ini sangat bergantung pada internet dan world wide web. Gaya penulisannya ‘aku’ dan ‘kamu’, mungkin dia memposisikan diri sebagai teman walaupun penulis ternyata wanita paruh baya dengan sejumlah cucu. Dalam setiap babnya, hampir selalu dia meyakinkan pembacanya bahwa dia tak dalam posisi menghakimi. Menurutnya ada alasan mengapa setiap kita saat ini kecanduan akan gadget. Dan dunia maya tentu saja banyak membawa manfaat selain dampak negatif yang terasa lebih sering dibesar-besarkan. Dia tidak setuju dengan istilah lari atau bersembunyi dari internet, tapi yang harus kita lakukan adalah memahaminya, memanfaatkannya, dan membuatnya bekerja untuk kita.
Penulis sangat ingin setiap kita sadar bahwa dunia maya akan sangat mampu memberdayakan kita jika kita menggunakannya tetap sebagai alat, dan kita yang memegang kendali atas alat ini.
Percayalah, lingkungan yang baik dengan beragam pilihan aktivitas yang bisa dilakukan, akan membuat kita tak lagi mencari sumber-sumber kesenangan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan
Pun, jika kita temui anak-anak kita ataupun diri kita sendiri terindikaasi kecanduan gadget maka percayalah, seburuk apapun yang terjadi, itu bukan akhir segalanya. Segera temui professional dan ahlinya, komitmen, lalu mari songsong hidup baru. Oya, sebelum saya selesaikan, ada tip menarik untuk memulai merubah kecanduan kita: matikan HP 1,5 jam sebelum tidur. Yuk bisa yuk